WEB BLOG
this site the web

I made this widget at MyFlashFetish.com.

manajement resiko penanggulangan banjir

Manajemen risiko untuk penanggulangan banjir

Jakarta terendam lagi. Tiap tahun, Ibu Kota selalu digenangi banjir. Bencana adalah sebuah risiko dan setiap risiko selalu ada ongkosnya (cost of risk). Ongkos itu bisa berupa korban jiwa atau kerugian harta benda. Belum lagi tambahan penderitaan bagi yang masih hidup.

Kerugian ekonomi akibat banjir di Jabodetabek bisa dikuantifikasi secara matematis. Tetapi, siapa yang mampu menghitung kerugian ekonomi dari tewasnya puluhan nyawa akibat banjir? Belum lagi jiwa-jiwa yang menderita di pengungsian. Inilah yang membuat dampak dari risiko itu bisa tak ternilai besarnya.

Bencana adalah ketidakpastian. Artinya, bencana bisa terjadi dan bisa juga tidak terjadi. Jika terjadi, tingkat keparahan juga tidak pasti. Bencana bisa berdampak sepele, tapi bisa menjelma dengan kehadirannya yang mengerikan dan mampu menelan ratusan ribu jiwa.

Pada dasarnya, penyebab bencana dibagi dua yaitu akibat alam (natural disaster) atau akibat ulah manusia (man made disaster). Tsunami, gempa bumi, dan gunung meletus adalah jenis bencana akibat alam. Tapi benarkah banjir, tanah longsor, atau kecelakaan pesawat adalah akibat alam? Jangan-jangan itu adalah keteledoran atau akibat kesengajaan manusia.

Banjir sering terjadi akibat pembalakan liar atau karena pada wilayah resapan air didirikan bangunan untuk lahan bisnis. Kecelakaan kapal juga sering terjadi bukan akibat cuaca buruk, tetapi karena kelebihan muatan atau ketidakpatuhan terhadap regulasi.

Kita memang tidak bisa berbuat banyak terhadap bencana akibat alam, tetapi menjadi sangat bodoh jika terjadi bencana akibat kesalahan manusia. Untuk itulah, peran manusia dalam mencegah dan mengatasi bencana sangat besar.

Mereduksi dampak

Bencana tidak berarti tidak bisa diatasi oleh manusia, bahkan bencana alam sekalipun. Bencana sebagai sebuah risiko, bisa dikontrol. Sebisa mungkin menghilangkan dampak bencana, namun jika tidak mampu, yang bisa dilakukan adalah mengontrol dengan cara mereduksi melalui aktivitas preventif (pre lost) dan penanggulangan (post lost).

Aktivitas penanggulangan bencana (setelah terjadi bencana) sudah sering dilakukan. Kita bisa lihat misalnya, penyelamatan korban banjir yang terjebak di rumah. Ini dilakukan untuk meminimalkan korban.

Tindakan pencegahan sejatinya jauh lebih ampuh untuk mereduksi dampak bencana, bahkan mungkin bisa mencegah terjadinya bencana. Anehnya, tindakan preventif justru sering diabaikan. Proyek Banjir Kanal Timur di Jakarta yang diharapkan mampu mereduksi dampak banjir, misalnya, justru tersendat dan kalah cepat dibandingkan proyek busway.

Setelah Jakarta terendam, pemerintah berencana menata kembali kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) agar mampu menyerap air. Padahal, rencana ini sudah didengungkan beberapa tahun lalu, tepat saat Jakarta terendam.

Seringkali pertimbangan bisnis menina-bobokan dan mengalahkan segalanya, bahkan jiwa manusia sekalipun. Ketidakmampuan pemerintah mengatasi bencana lebih banyak karena ketidakmauan melaksanakan komitmen yang biasanya muncul pascabencana.

Bangsa yang dalam studi Walhi, 83% kawasannya adalah rawan bencana, ternyata belum punya perangkat kuat untuk menanggulangi bencana. Ini sebuah ironi. Rancangan Undang-undang Penanggulangan Bencana (RUUPB) hingga kini masih stagnan. Meskipun masih ada beberapa kekurangan, tetapi pemerintah dan DPR harus segera mengesahkan RUU ini.

Badan Penanggulangan Bencana (BPB) yang akan dibentuk melalui RUUPB juga sebenarnya tidak cukup wewenangnya. BPB juga terlihat sangat terkesan sebagai lembaga 'pemadam kebakaran'. Padahal, dibutuhkan lembaga yang menangani risiko bencana, yang memandang bencana sebagai sebuah risiko yang harus ditangani secara sistematis dan komprehensif.

Saat ini di beberapa perusahaan terdapat chief risk officer yang bertanggung jawab pada penanganan semua risiko yang dihadapi perusahaan. Konsep sejenis bisa diaplikasikan untuk konteks yang lebih besar yakni dengan membentuk country risk officer (CRO).

Konsep CRO sebenarnya tidak hanya didesain untuk bencana, tetapi untuk risiko seperti risiko ekonomi, politik, kesehatan, dan lainnya. Institusi tersebut akan melakukan pengkajian risiko (risk assessment) apa saja yang dihadapi bangsa ini. Dalam konteks bencana, maka difokuskan pada bencana apa saja yang bakal terjadi.

BPB sebaiknya dibentuk menyerupai CRO, yakni bekerja lintas sektoral yang melakukan penanganan bencana dalam paradigma manajemen risiko. Tugasnya fokus pada strategi menanggulangi risiko sehingga tidak sekadar pada tataran praksis menanggulangi bencana.

Kajian risiko

Kajian terhadap bencana tidak hanya dibatasi pada bencana alam. Bencana akibat ulah manusia bisa timbul dari individu, kelompok, atau kebijakan pemerintah yang salah. Saat membuat kebijakan apapun, pemerintah harus selalu ada kajian terhadap risiko yang bakal timbul sebagai dampak dari kebijakan tersebut.

Cara bepikir bahwa setiap kebijakan pasti ada risikonya, harus menjadi paradigma pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Dengan demikian, sebelum membuat peraturan apapun, harus selalu berpikir tentang risiko atau dampaknya. Sekali lagi, dampak risiko, seperti diuraikan di atas, bisa tak terhingga besarnya.

Kita bisa hitung, berapa keuntungan pemanfaatan daerah Bopunjur dan Jakarta untuk komersial dibandingkan dengan kerugian Jabodetabek akibat banjir yang bisa triliunan rupiah selama bertahun-tahun, serta menelan nyawa manusia yang tak berdosa.

Setelah proses pengkajian risiko adalah melakukan analisis dan kontrol risiko. Mencegah risiko, mereduksi risiko, menahan risiko, atau memindahkan risiko adalah bentuk dari kontrol risiko. Berkenaan bencana di Indonesia, tindakan mencegah dan mereduksi risiko menjadi prioritas.

Mereduksi risiko dapat berupa mengurangi kemungkinan terjadinya risiko bencana (likelihood) atau mengurangi dampaknya (severity). Selain itu juga perlu dipersiapkan rencana darurat (contingency planning) dalam rangka menghadapi segala kemungkinan.

Paradigma manajemen risiko ini harus dikomunikasikan hingga pejabat di tingkat bawah sehingga mereka benar-benar peduli terhadap risiko bencana. Dengan demikian, aktivitas preventif dan kesiapan mengatasi bencana dapat dipersiapkan secara maksimal. Jika tidak, maka kita mungkin dengan pilu masih menyaksikan bencana menerpa dengan penanganan yang amburadul.

Materi majement Proyek dan Resiko

Pengertian Manajement Proyek

pengertian menejemen proyekArti istilah project management dianggap berkaitan erat dengan pengertian berikut

Suatu sistem perangkat lunak yang membantu kelompok manusia untuk melakukan kegiatan penjadwalan, pencatatan aktifitas kegiatan, serta skema-skema yang berkaitan dengan aktifitas yang dilakukan oleh pengguna sistem tersebut.

PENGERTIAN MANAJEMEN RISIKO

Istilah (risk) risiko memiliki berbagai definisi. Risiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. [3] Vaughan (1978) mengemukakan beberapa definisi risiko sebagai berikut:

- Risk is the chance of loss (Risiko adalah kans kerugian).

Chance of loss berhubungan dengan suatu exposure (keterbukaan) terhadap kemungkinan kerugian. Dalam ilmu statistik, chance dipergunakan untuk menunjukkan tingkat probabilitas akan munculnya situasi tertentu. Sebagian penulis menolak definisi ini karena terdapat perbedaan antara tingkat risiko dengan tingkat kerugian. Dalam hal chance of loss 100%, berarti kerugian adalah pasti sehingga risiko tidak ada.

- Risk is the possibility of loss (Risiko adalah kemungkinan kerugian).

Istilah possibility berarti bahwa probabilitas sesuatu peristiwa berada diantara nol dan satu. Namun, definisi ini kurang cocok dipakai dalam analisis secara kuantitatif.

- Risk is uncertainty (Risiko adalah ketidakpastian).

Uncertainty dapat bersifat subjective dan objective. Subjective uncertainty merupakan penilaian individu terhadap situasi risiko yang didasarkan pada pengetahuan dan sikap individu yang bersangkutan. Objective uncertainty akan dijelaskan pada dua definisi risiko berikut.

- Risk is the dispersion of actual from expected results (Risiko merupakan penyebaran hasil aktual dari hasil yang diharapkan).

Ahli statistik mendefinisikan risiko sebagai derajat penyimpangan sesuatu nilai disekitar suatu posisi sentral atau di sekitar titik rata-rata.

- Risk is the probability of any outcome different from the one expected (Risiko adalah probabilitas sesuatu outcome berbeda dengan outcome yang diharapkan). Menurut definisi di atas, risiko bukan probabilita dari suatu kejadian tunggal, tetapi probabilita dari beberapa outcome yang berbeda dari yang diharapkan.

Dari berbagai definisi diatas, risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tidak diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain, kemungkinan itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian.

Risiko dapat terjadi pada pelayanan, kinerja, dan reputasi dari institusi yang bersangkutan. Risiko yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kejadian alam, operasional, manusia, politik, teknologi, pegawai, keuangan, hukum, dan manajemen dari organisasi.

Suatu risiko yang terjadi dapat berasal dari risiko lainnya, dan dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Risiko rendahnya kinerja suatu instansi berasal dari risiko rendahnya mutu pelayanan kepada publik. Risiko terakhir disebabkan oleh faktor-faktor sumber daya manusia yang dimiliki organisasi dan operasional seperti keterbatan fasilitas kantor. Risiko yang terjadi akan berdampak pada tidak tercapainya misi dan tujuan dari instansi tersebut, dan timbulnya ketidakpercayaan dari publik.

Risiko diyakini tidak dapat dihindari. Berkenaan dengan sektor publik yang menuntut transparansi dan peningkatan kinerja dengan dana yang terbatas, risiko yang dihadapi instansi Pemerintah akan semakin bertambah dan meningkat. Oleh karenanya, pemahaman terhadap risiko menjadi keniscayaan untuk dapat menentukan prioritas strategi dan program dalam pencapaian tujuan organisasi.

Risiko dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan melalui manajemen risiko. Peran dari manajemen risiko diharapkan dapat mengantisipasi lingkungan cepat berubah, mengembangkan corporate governance, mengoptimalkan penyusunan strategic management, mengamankan sumber daya dan asset yang dimiliki organisasi, dan mengurangi reactive decision making dari manajemen puncak.

Menurut COSO, risk management (manajemen resiko) dapat diartikan sebagai ‘a process, effected by an entity’s board of directors, management and other personnel, applied in strategy setting and across the enterprise, designed to identify potential events that may affect the entity, manage risk to be within its risk appetite, and provide reasonable assurance regarding the achievement of entity objectives.’ [4] Definisi risk management di atas dapat dijabarkan lebih lanjut berdasarkan kata-kata kunci sebagai berikut:

- On going process

Risk management dilaksanakan secara terus menerus dan dimonitor secara berkala. Risk management bukanlah suatu kegiatan yang dilakukan sesekali (one time event).

- Effected by people

Risk management ditentukan oleh pihak-pihak yang berada di lingkungan organisasi. Untuk lingkungan institusi Pemerintah, risk management dirumuskan oleh pimpinan dan pegawai institusi/departemen yang bersangkutan.

- Applied in strategy setting

Risk management telah disusun sejak dari perumusan strategi organisasi oleh manajemen puncak organisasi. Dengan penggunaan risk management, strategi yang disiapkan disesuaikan dengan risiko yang dihadapi oleh masing-masing bagian/unit dari organisasi.

- Applied across the enterprise

Strategi yang telah dipilih berdasarkan risk management diaplikasikan dalam kegiatan operasional, dan mencakup seluruh bagian/unit pada organisasi. Mengingat risiko masing-masing bagian berbeda, maka penerapan risk management berdasarkan penentuan risiko oleh masing-masing bagian.

- Designed to identify potential events

Risk management dirancang untuk mengidentifikasi kejadian atau keadaan yang secara potensial menyebabkan terganggunya pencapaian tujuan organisasi.

- Provide reasonable assurance

Risiko yang dikelola dengan tepat dan wajar akan menyediakan jaminan bahwa kegiatan dan pelayanan oleh organisasi dapat berlangsung secara optimal.

- Geared to achieve objectives

Risk management diharapkan dapat menjadi pedoman bagi organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.

manajement proyek penanggulangan banjir

pengertian menejemen proyekArti istilah project management dianggap berkaitan erat dengan pengertian berikut
Suatu sistem perangkat lunak yang membantu kelompok manusia untuk melakukan kegiatan penjadwalan, pencatatan aktifitas kegiatan, serta skema-skema yang berkaitan dengan aktifitas yang dilakukan oleh pengguna sistem tersebut.

PENGERTIAN MANAJEMEN RISIKO

Istilah (risk) risiko memiliki berbagai definisi. Risiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. [3] Vaughan (1978) mengemukakan beberapa definisi risiko sebagai berikut:

- Risk is the chance of loss (Risiko adalah kans kerugian).

Chance of loss berhubungan dengan suatu exposure (keterbukaan) terhadap kemungkinan kerugian. Dalam ilmu statistik, chance dipergunakan untuk menunjukkan tingkat probabilitas akan munculnya situasi tertentu. Sebagian penulis menolak definisi ini karena terdapat perbedaan antara tingkat risiko dengan tingkat kerugian. Dalam hal chance of loss 100%, berarti kerugian adalah pasti sehingga risiko tidak ada.

- Risk is the possibility of loss (Risiko adalah kemungkinan kerugian).

Istilah possibility berarti bahwa probabilitas sesuatu peristiwa berada diantara nol dan satu. Namun, definisi ini kurang cocok dipakai dalam analisis secara kuantitatif.

- Risk is uncertainty (Risiko adalah ketidakpastian).

Uncertainty dapat bersifat subjective dan objective. Subjective uncertainty merupakan penilaian individu terhadap situasi risiko yang didasarkan pada pengetahuan dan sikap individu yang bersangkutan. Objective uncertainty akan dijelaskan pada dua definisi risiko berikut.

- Risk is the dispersion of actual from expected results (Risiko merupakan penyebaran hasil aktual dari hasil yang diharapkan).

Ahli statistik mendefinisikan risiko sebagai derajat penyimpangan sesuatu nilai disekitar suatu posisi sentral atau di sekitar titik rata-rata.

- Risk is the probability of any outcome different from the one expected (Risiko adalah probabilitas sesuatu outcome berbeda dengan outcome yang diharapkan). Menurut definisi di atas, risiko bukan probabilita dari suatu kejadian tunggal, tetapi probabilita dari beberapa outcome yang berbeda dari yang diharapkan.

Dari berbagai definisi diatas, risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tidak diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain, kemungkinan itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian.

Risiko dapat terjadi pada pelayanan, kinerja, dan reputasi dari institusi yang bersangkutan. Risiko yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kejadian alam, operasional, manusia, politik, teknologi, pegawai, keuangan, hukum, dan manajemen dari organisasi.

Suatu risiko yang terjadi dapat berasal dari risiko lainnya, dan dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Risiko rendahnya kinerja suatu instansi berasal dari risiko rendahnya mutu pelayanan kepada publik. Risiko terakhir disebabkan oleh faktor-faktor sumber daya manusia yang dimiliki organisasi dan operasional seperti keterbatan fasilitas kantor. Risiko yang terjadi akan berdampak pada tidak tercapainya misi dan tujuan dari instansi tersebut, dan timbulnya ketidakpercayaan dari publik.

Risiko diyakini tidak dapat dihindari. Berkenaan dengan sektor publik yang menuntut transparansi dan peningkatan kinerja dengan dana yang terbatas, risiko yang dihadapi instansi Pemerintah akan semakin bertambah dan meningkat. Oleh karenanya, pemahaman terhadap risiko menjadi keniscayaan untuk dapat menentukan prioritas strategi dan program dalam pencapaian tujuan organisasi.

Risiko dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan melalui manajemen risiko. Peran dari manajemen risiko diharapkan dapat mengantisipasi lingkungan cepat berubah, mengembangkan corporate governance, mengoptimalkan penyusunan strategic management, mengamankan sumber daya dan asset yang dimiliki organisasi, dan mengurangi reactive decision making dari manajemen puncak.

Menurut COSO, risk management (manajemen resiko) dapat diartikan sebagai ‘a process, effected by an entity’s board of directors, management and other personnel, applied in strategy setting and across the enterprise, designed to identify potential events that may affect the entity, manage risk to be within its risk appetite, and provide reasonable assurance regarding the achievement of entity objectives.’ [4] Definisi risk management di atas dapat dijabarkan lebih lanjut berdasarkan kata-kata kunci sebagai berikut:

- On going process

Risk management dilaksanakan secara terus menerus dan dimonitor secara berkala. Risk management bukanlah suatu kegiatan yang dilakukan sesekali (one time event).

- Effected by people

Risk management ditentukan oleh pihak-pihak yang berada di lingkungan organisasi. Untuk lingkungan institusi Pemerintah, risk management dirumuskan oleh pimpinan dan pegawai institusi/departemen yang bersangkutan.

- Applied in strategy setting

Risk management telah disusun sejak dari perumusan strategi organisasi oleh manajemen puncak organisasi. Dengan penggunaan risk management, strategi yang disiapkan disesuaikan dengan risiko yang dihadapi oleh masing-masing bagian/unit dari organisasi.

- Applied across the enterprise

Strategi yang telah dipilih berdasarkan risk management diaplikasikan dalam kegiatan operasional, dan mencakup seluruh bagian/unit pada organisasi. Mengingat risiko masing-masing bagian berbeda, maka penerapan risk management berdasarkan penentuan risiko oleh masing-masing bagian.

- Designed to identify potential events

Risk management dirancang untuk mengidentifikasi kejadian atau keadaan yang secara potensial menyebabkan terganggunya pencapaian tujuan organisasi.

- Provide reasonable assurance

Risiko yang dikelola dengan tepat dan wajar akan menyediakan jaminan bahwa kegiatan dan pelayanan oleh organisasi dapat berlangsung secara optimal.

- Geared to achieve objectives

Risk management diharapkan dapat menjadi pedoman bagi organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.














proyek penanggulangn banjir

I. LATAR BELAKANG
Di seluruh Indonesia, tercatat 5.590 sungai induk dan 600 di antaranya berpotensi
menimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup oleh sungai-sungai induk ini
mencapai 1,4 juta hektar. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, banjir yang terjadi di
daerah-daerah rawan pada dasarnya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, kegiatan
manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan berdampak pada
perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan yang sangat tinggi, kenaikan
permukaan air laut, badai, dan sebagainya.1 Ketiga, degradasi lingkungan seperti
hilangnya tumbuhan penutup tanah pada catchment area, pendangkalan sungai akibat
sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya.
Bencana banjir tidak saja menyebabkan sawah tergenang sehingga tidak dapat
dipanen dan meluluhlantakkan perumahan dan permukiman, tetapi juga merusak fasilitas
pelayanan sosial ekonomi masyarakat dan prasarana publik bahkan menelan korban
jiwa. Kerugian semakin besar apabila terganggunya bahkan terhentinya kegiatan
ekonomi dan pemerintahan diperhitungkan secara ekonomi. Meskipun partisipasi
masyarakat dalam rangka penanggulangan banjir sangat nyata terutama pada aktivitas
tanggap darurat, namun bencana banjir memberi tambahan beban keuangan negara
terutama untuk merehabilitasi dan memulihkan fungsi parasana publik yang rusak.
Terjadinya serangkaian bencana banjir dalam kurun waktu yang relatif pendek
dan selalu terulang setiap tahunnya menuntut upaya lebih besar untuk mengantisipasinya
sehingga kerugian yang ditimbulkannya dapat diminimalkan. Berbagai upaya pemerintah
yang masih bersifat struktural (structural approach) ternyata belum sepenuhnya mampu
menanggulangi masalah banjir yang terjadi di Indonesia. Demikian pula kebijakan
sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa melibatkan masyarakat sudah tidak sesuai
dengan perkembangan global yang menuntut adanya desentralisasi, demokrasi, dan
partisipasi stakeholder terutama masyarakat yang terkena dampak bencana.2 Dengan
demikian, maka penanggulangan banjir yang biasa dilakukan dengan pembangunan fisik
semata (structural approach) harus disinergikan dengan pembangunan non fisik (nonstructural
approach) yang menyediakan ruang lebih luas bagi munculnya partisipasi
masyarakat sehingga tercapai hasil yang lebih optimal. Keterbukaan pemerintah untuk
mengkomunikasikan setiap program-program pembangunan serta mengupayakan dan
menerima partisipasi masyarakat merupakan prasyarat yang harus dipenuhi.
Dari penjelasan di atas, maka kebijakan penanggulangan banjir yang lebih bersifat
fisik harus diimbangi dengan langkah-langkah non-fisik di mana peran masyarakat dan
stakeholder lainnya harus diberi tempat yang sesuai. Kebijakan dan program
1 Sebagai salah satu negara yang beriklim tropis, Indonesia merupakan wilayah dengan curah hujan yang
tinggi, sekitar 2.000-3.000 milimeter setahun. Apabila suatu saat curah hujan melebihi kisaran (range)
tersebut maka banjir sulit dielakkan, sebagaimana terjadi pada banjir Jakarta pada tahun 2002 yang lalu.
2 Stakeholder didefinisikan sebagai masyarakat, komunitas, atau institusi yang memiliki kecenderungan
untuk dipengaruhi oleh intervensi yang diajukan (baik negatif maupun positif), atau yang dapat
mempengaruhi hasil dari intervensi tersebut.
2
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
penanggulangan banjir yang kurang melibatkan masyarakat terutama yang terkena
dampak bencana dapat mengakibatkan berkurangnya efektivitas pelaksanaan kebijakan
tersebut.
II. TUJUAN KAJIAN
Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan tentang
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir berdasarkan data yang diperoleh
dari hasil survei dan kajian berbagai literatur. Keluaran yang diharapkan berupa
gambaran mengenai kebijakan dan regulasi yang telah ada serta rekomendasi kebijakan
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir sesuai tingkat keterlibatannya pada
setiap tahapan kegiatan mulai dari penyusunan konsep kebijakan hingga pelaksanaan
dan evaluasi kegiatan.
III. RUANG LINGKUP DAN METODE PELAKSANAAN KAJIAN
3.1. Ruang Lingkup
Kajian tentang penanggulangan banjir sangat luas karena tidak hanya mencakup
aspek teknis tetapi juga aspek ekonomi, sosial dan budaya dari rangkaian tahapan
kegiatan mulai dari penyusunan konsep kebijakan hingga pelaksanaan dan evaluasi
kegiatan penanggulangan banjir. Sementara ini, kajian yang terkait dengan bangunan
fisik pengendali banjir sudah banyak dilakukan. Oleh karena itu maka kajian ini
difokuskan pada aspek non teknis dan untuk mempertajam analisis maka ruang lingkup
kajian ini dibatasi pada: (i) Pengumpulan dan analisis data tentang kebijakan dan regulasi
di tingkat pusat dan beberapa daerah yang ditentukan; (ii) Analisis tingkat partisipasi
masyarakat berdasarkan tingkat ketertarikan, pengaruh, dan kepentingannya dalam
penanggulangan bencana banjir; dan (iii) Penyusunan rekomendasi kebijakan partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan banjir.
3.2. Metode Pelaksanaan Kajian
Kegiatan survei dan kajian literatur dilaksanakan dengan mengumpulkan data dan
informasi tentang peraturan perundangan dan dokumen kebijakan lainnya, hasil kajian
terdahulu, dan kebijakan penanggulangan banjir yang sudah diterapkan di wilayahwilayah
kajian. Selain itu juga dilakukan wawancara singkat dan terarah dengan
responden dari unsur-unsur: (i) pemerintah (decision/ policy makers); (ii) profesional
(intermediaries); dan (iii) masyarakat umum (beneficiaries).
Dari survei dan kajian literatur tersebut diperoleh data tentang kebijakan dan
program penanggulangan banjir, peraturan perundangan terkait penanggulangan banjir,
kondisi satuan wilayah sungai, sistem pengelolaan sumberdaya air, kebijakan
penanggulangan banjir yang diterapkan, kendala dalam penanggulangan banjir, serta
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir baik pada in-stream maupun offstream.
Hasil survei dan kajian literatur tersebut dipetakan ke dalam matriks kebijakan
dan regulasi dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir.
Kajian dilaksanakan secara nasional dengan mengambil 3 (tiga) kota daerah
kajian utama sebagai contoh (sample), yaitu: DKI Jakarta, Medan (Sumatera Utara), dan
Surabaya (Jawa Timur). Selain di daerah kajian utama, sebagai pembanding, kajian juga
dilakukan di beberapa daerah yaitu: Padang (Sumatera Barat), Pontianak (Kalimantan
Barat), Bandung (Jawa Barat), Denpasar (Bali), Lombok (NTB), Makassar (Sulawesi
Selatan), dan Ambon (Ambon). Lokasi kajian dipilih atas pertimbangan kondisi dan
3
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
karakteristik daerah rawan banjir yang dicirikan dengan perbedaan intensitas banjir,
jumlah dan kepadatan penduduk, serta keandalan data di wilayah studi.
IV. PERMASALAHAN
Upaya penanggulangan banjir yang selama ini dilakukan lebih terfokus pada
penyediaan bangunan fisik pengendali banjir untuk mengurangi dampak bencana. Selain
itu, meskipun kebijakan non fisik --yang umumnya mencakup partisipasi masyarakat--
dalam penanggulangan banjir sudah mulai dibuat namun masih belum diimplementasikan
secara baik dan bahkan tidak sesuai kebutuhan masyakarat sehingga efektifitasnya
dipertanyakan.
Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang disebut masyarakat?, sampai seberapa
jauh masyarakat dapat berpartisipasi?, dan pada tahapan mana masyarakat dapat
berpartisipasi. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut harus menjadi
pertimbangan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan partisipasi masyarakat
dalam penanggulangan banjir. Kekeliruan dalam perumusan kebijakan tersebut akan
menyebabkan berbagai kepentingan individu/kelompok lebih dominan dan dimanfaatkan
untuk kepentingan yang sifatnya negatif sehingga kebijakan yang ditetapkan menjadi
tidak efektif bahkan dapat menyebabkan batalnya suatu kebijakan.
Selain itu, penanggulangan banjir di Indonesia mencakup kegiatan yang sangat
kompleks dan bersifat lintas sektor. Oleh karena itu agar penanggulangan banjir lebih
integratif dan efektif maka diperlukan tidak hanya koordinasi di tingkat pelaksanaan tetapi
juga di tingkat perencanaan kebijakan, termasuk partisipasi masyarakat dan stakeholder
lainnya. Atas pertimbangan tersebut, sebagai institusi yang diberi tugas untuk
mengkoordinasikan perencanaan pembangunan maka selayaknya Bappenas melakukan
kajian kebijakan penanggulangan banjir yang bersifat komprehensif yang tidak bias sektor
dan wilayah dengan penekanan pada partisipasi masyarakat dalam penanggulangan
banjir.
V. KERANGKA TEORITIS
5.1 Siklus Penanggulangan Banjir
Penanggulangan banjir dilakukan secara bertahap dari pencegahan sebelum banjir
(prevention), penanganan saat terjadinya banjir (response/intervention), dan pemulihan
setelah banjir (recovery).3 Tahapan-tahapan tersebut berada dalam suatu siklus kegiatan
penanggulangan banjir yang berkesinambungan sebagaimana digambarkan pada
Gambar 1 yang mencakup beberapa jenis kegiatan seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.
Kegiatan penanggulangan banjir mengikuti suatu siklus (life cycle) yang dimulai
dari peristiwa bencana banjir, kemudian diadakan suatu pengkajian sebagai masukan
dalam tindakan pencegahan (prevention) sebelum bencana banjir terjadi kembali.
Tindakan pencegahan dilakukan secara menyeluruh berupa kegiatan fisik berupa
pembangunan pengendali banjir di wilayah sungai (in-stream) sampai wilayah dataran
banjir (off-stream), dan kegiatan non-fisik seperti pengelolaan tata guna lahan sampai
sistem peringatan dini bencana banjir.
3 Bencana banjir merupakan kejadian genangan sementara yang alami terjadi pada dataran banjir (floodplain)
ketika air hujan jatuh melimpas menjadi aliran permukaan dan menimbulkan kerugian baik materi maupun
non-materi.
4
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
CATASTROPHIC EVENT
(Sumber: Stephen Bieri, Disaster Risk Management & The System Approach,)
Gambar 1. Disaster Risk Management and MitigationCircle
Tabel 1 Kegiatan dalam Siklus Penanggulangan Banjir
Siklus
(Life Cycle)
Kegiatan
(Activities)
STRUCTURAL MEASURES
• In Stream
• Off Stream
NON-STRUCTURAL MEASURES
• Long-term Flood Prevention
PREVENTION
• Short-term Flood Emergency Management
INTERVENTION Flood Forecasting Information and Dissemination
Flood Emergency Response and Assistance/Flood
Fighting
Aftermath Assistance and Relief
• Post-flood Clean-up and Reconstruction
• Flood Adaptation and Rehabilitation
Flood Damage Assesment and Insurance
RECOVERY
Flood Quick Reconnaisance Study
Setelah tindakan pencegahan dilaksanakan, dirancang pula tindakan penanganan
(response/intervention) pada saat bencana banjir terjadi. Tindakan penanganan bencana
banjir antara lain berupa pemberitahuan dan penyebaran informasi tentang prakiraan
banjir (flood forecasting information and dissemination), tanggap darurat, bantuan
peralatan perlengkapan logistik untuk menangani bencana banjir (flood emergency
response and assistance), dan perlawanan terhadap bencana banjir (flood fighting).
Pemulihan setelah terjadi bencana banjir dilakukan sesegera mungkin untuk
mempercepat perbaikan kerusakan agar kondisi secara umum berjalan normal kembali.
Tindakan pemulihan dilaksanakan mulai dari bantuan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari dan perbaikan sarana-prasarana (aftermath assistance and relief), rehabilitasi
dan adaptasi kondisi fisik dan non-fisik (flood adaptation and rehabilitation), penilaian
kerugian materi dan non-materi serta ansuransi bencana banjir (flood damage
5
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
assessment and insurance), dan pengkajian cepat penyebab terjadinya bencana banjir
untuk dijadikan masukan dalam tindakan pencegahan (flood quick reconnaissance study).
5.2. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan suatu proses teknis untuk memberikan
kesempatan dan wewenang yang lebih luas kepada masyarakat untuk secara bersamasama
memecahkan berbagai persoalan. Pembagian kewenangan ini dilakukan
berdasarkan tingkat keikutsertaan (level of involvement) masyarakat dalam kegiatan
tersebut. Partisipasi masyarakat bertujuan untuk mencari solusi permasalahan yang lebih
baik dalam suatu komunitas dengan membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat
untuk ikut memberikan kontribusi sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih efektif,
efesien, dan berkelanjutan.
Stakeholder penanggulangan banjir secara umum dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu: (i) beneficiaries, masyarakat yang mendapat manfaat/dampak secara langsung
maupun tidak langsung, (ii) intermediaries, kelompok masyarakat atau perseorangan yang
dapat memberikan pertimbangan atau fasilitasi dalam penanggulangan banjir antara lain:
konsultan, pakar, LSM, dan profesional di bidang SDA, dan (iii) decision/ policy makers,
lembaga/institusi yang berwenang membuat keputusan dan landasan hukum seperti
lembaga pemerintahan dan dewan sumberdaya air.
Sejalan dengan tuntutan masyarakat akan keterbukaan dalam program-program
pemerintah maka akuntabilitas pemerintah dapat dinilai dari sudut pandang sejauh mana
partisipasi masyarakat dan pihak terkait (stakeholder) lainnya dalam program
pembangunan. Partisipasi masyarakat dilakukan mulai dari tahapan kegiatan pembuatan
konsep, konstruksi, operasional-pemeliharaan, serta evaluasi dan pengawasan.
Penentuan dan pemilahan stakeholder dilakukan dengan metode Stakeholders
Analysis yang dilakukan melalui 4 (empat) tahap proses yaitu: (a) identifikasi stakeholder;
(b) penilaian ketertarikan stakeholder terhadap kegiatan penanggulangan banjir; (c)
penilaian tingkat pengaruh dan kepentingan setiap stakeholder; dan (d) perumusan
rencana strategi partisipasi stakeholder dalam penanggulangan banjir pada setiap fase
kegiatan.4 Semua proses dilakukan dengan cara mempromosikan kegiatan pembelajaran
dan meningkatkan potensi masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi, serta
menyediakan kesempatan untuk ikut bagian dan memiliki kewenangan dalam proses
pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya dalam kegiatan penanggulangan banjir.
Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan penanggulangan banjir terdiri dari 7
(tujuh) tingkatan yang didasarkan pada mekanisme interaksinya, yaitu: (i) Penolakan
(resistance/opposition); (ii) Pertukaran informasi (information-sharing); (iii) Konsultasi
(consultation with no commitment); (iv) Konsensus dan Pengambilan Kesepakatan
Bersama (concensus building and agreement); (v) Kolaborasi (collaboration); (vi)
Pemberdayaan dengan pembagian risiko (empowerment-risk sharing); dan (vii)
Pemberdayaan dan Kemitraan (empowerment and partnership).5
5.3. Jenis Kebijakan/Kegiatan
Rumusan jenis dan tingkat partisipasi masyarakat akan berbeda tergantung pada
jenis kebijakan atau kegiatan. Untuk memudahkan identifikasi jenis dan tingkat partisipasi
masyarakat dalam kebijakan atau kegiatan Bank Dunia memperkenalkan social
4 Rietbergen-McCracken, Jennifer dan Deepa Narayan, 1998. Participation and Social Assesment: Tools
and Techniques. Washington D.C. : The World Bank.
5 Dikompilasi dari The World Bank and Participation: The World Bank-Operations Policy Department
(1994) dan Zonneveld, Luuk, A Toolkit for Participation in Local Governance: Learning to make
participation work. Oxfam/Novib (Maret 2001).
6
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
assessment yang umumnya mengelompokkan 4 (empat) jenis kebijakan atau kegiatan
yaitu: (i) indirect social benefits and direct social costs; (ii) significant uncertainty or risks;
(iii) large number of beneficiaries and few social cost; dan (iv) targeted assistance.6
Indirect benefits, direct social cost. Suatu kebijakan atau kegiatan yang
memberikan manfaat tidak langsung kepada masyarakat tetapi menimbulkan biaya sosial.
Contoh kegiatan ini antara lain pembangunan insfrastruktur, keanekaragaman hayati,
structural adjustment, dan privatisasi.
Significant uncertainty or risk. Suatu kebijakan untuk menyelesaikan suatu
permasalahan yang bentuk penyelesaiannya belum jelas dan tidak cukup tersedia
informasi dan komitmen dari kelompok sasaran. Contoh kegiatan ini antara lain intervensi/
pembangunan wilayah pasca konflik.
Large number of beneficiaries and few social cost. Suatu kebijakan atau
kegiatan yang jumlah penerima manfaat atau dampaknya sangat besar tetapi hanya
sedikit menimbulkan biaya sosial. Contoh kegiatan ini antara lain pembangunan
kesehatan, pendidikan, penyuluhan pertanian, dan desentralisasi.
Targeted assistance. Suatu kebijakan atau kegiatan yang kelompok dan jumlah
penerima manfaat atau dampaknya telah terdefinisikan secara jelas. Contoh kegiatan ini
antara lain penanggulangan kemiskinan di suatu wilayah, penanganan pengungsi,
reformasi kelembagaan (institutional reform), dan korban bencana alam.
VI. HASIL PENGUMPULAN DATA
Hasil survei yang telah dilakukan mencakup sumber informasi, penyebab banjir,
besarnya kerugian, kebijakan dan program penanggulangan, kendala yang dihadapi, serta
partisipasi masyarakat; baik pada periode pra bencana, ketika terjadi bencana, maupun
setelah terjadinya bencana.
Data sekunder diperoleh dari instansi terkait sedangkan wawancara dilakukan
dengan beberapa stakeholder dari unsur decision/policy maker di tingkat propinsi
terutama dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dinas yang
menangani infrastruktur wilayah, dinas yang menangani masalah sosial, Satkorlak
Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (Satkorlak PBP), Pelaksana Proyek
Pengendalian Banjir,. Dari unsur intermediaries, wawancara dilakukan dengan pakar dari
perguruan tinggi, profesional dan pemerhati bidang sumberdaya air serta lembaga
swadaya masyarakat yang peduli terhadap masalah banjir. Selain itu, wawancara juga
dilakukan dengan masyarakat setempat.
Dari penelusuran data ditemukan bahwa baik di daerah kajian utama atau daerah
pembanding penyebab banjir relatif sama meskipun dengan intensitas yang berbeda,
yaitu: (i) curah hujan tinggi; (ii) jumlah dan kepadatan penduduk tinggi; (iii) pengembangan
kota yang tidak terkendali, tidak sesuai tata ruang daerah, dan tidak berwawasan
lingkungan sehingga menyebabkan berkurangnya daerah resapan dan tampungan air; (iv)
drainase kota yang tidak memadai akibat sistem drainase yang kurang tepat, kurangnya
prasarana darinase, dan kurangnya pemeliharaan; (v) luapan beberapa sungai besar yang
mengalir ke tengah kota; (vi) kerusakan lingkungan pada daerah hulu; (vii) kondisi pasang
air laut pada saat hujan sehingga mengakibatkan backwater; (viii) berkurangnya kapasitas
pengaliran sungai akibat penyempitan sungai, penggunaan lahan illegal di bantaran
sungai; (ix) kurang lancar hingga macetnya aliran sungai karena tumpukan sampah; serta
(x) ketidakjelasan status dan fungsi saluran.
6 Opcit. Social assessment dilakukan untuk mengumpulkan informasi sosial, memahami public value,
mengetahui risiko, serta menentukan prioritas, perhatian, dan sumberdaya yang dibutuhkan dalam
melaksanakan suatu kebijakan atau kegiatan.
7
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
Kerugian yang diakibatkan oleh banjir yang melanda berbagai kota dan wilayah
selama ini antara meliputi: (i) korban manusia; (ii) kehilangan harta benda; (iii) kerusakan
rumah penduduk, sekolah dan bangunan sosial, prasarana jalan, jembatan, bandar udara,
tanggul sungai, jaringan irigasi, dan prasarana publik lainnya; (iv) terganggunya
transportasi, serta (v) rusak hingga hilangnya lahan budidaya seperti sawah, tambak, dan
kolam ikan. Di samping kerugian yang sifatnya material, banjir juga membawa kerugian
non material antara lain munculnya kerawanan sosial, munculnya wabah penyakit,
menurunnya kenyamanan lingkungan, serta menurunnya kesejahteraan masyarakat
akibat terhambatnya kegiatan perekonomian.
Dalam rangka mengurangi dampak banjir, telah disusun berbagai kebijakan dan
program penanggulangan baik yang sifatnya prevention, intervention maupun recovery.
Pada tahapan pra bencana dilakukan: (i) membuat peta rawan bencana; (ii) membangun,
meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai, tampungan air,
dan drainase beserta peralatan dan fasilitas penunjangnya; (iii) menyusun peraturan dan
menertibkan daerah bantaran sungai; (iv) membuat peta daerah genangan banjir; (v)
sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir; (vi) menegakkan hukum
terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai; (vii) menyediakan cadangan
pangan dan sandang serta peralatan darurat banjir lainnya; (viii) membuat sumur resapan;
(x) pemantapan Satkorlak PBP; (x) merevisi tata ruang propinsi maupun kota secara
terkoordinasi dan terintegrasi; (xi) mengendalikan perkembangan lingkungan dan
pengembangan daerah hulu; (xii) membuat penampungan air berteknologi tinggi; (xiii)
menerapkan pengelolaan sungai terpadu berdasarkan satuan wilayah sungai (SWS) dan
memberdayakan kelembagaan pengelolaan SWS; (xiv) membangun fasilitas pengolah
limbah dan sampah; (xv) melakukan reboisasi kota dan daerah hulu; dan (xvi) mendirikan
posko banjir di wilayah RT/ RW.
Kebijakan dan program pada tahapan ketika terjadi bencana, berupa: (i)
pemberitahuan dini kepada masyarakat tentang kondisi cuaca; (ii) menempatkan petugas
pada pos-pos pengamatan; (iii) menyiapkan sarana penanggulangan termasuk bahan
banjiran; (iv) mengevakuasi dan mengungsikan penduduk ke daerah aman sesuai yang
telah direncanakan dengan memanfaatkan seluruh komponen masyarakat, TNI, Polri,
Satlak PBP, Satkorlak PBP, Badan SAR Nasional (Basarnas), dan karang taruna; (v)
memberikan bantuan pangan, pakaian, dan peralatan kebutuhan lainnya serta pelayanan
kesehatan darurat kepada korban bencana; dan (vi) mendata lokasi dan jumlah korban
bencana.
Pada tahapan pasca banjir, kebijakan dan program yang telah dilakukan di
daerah studi umumnya masih bersifat fisik sedangkan yang bersifat non fisik masih belum
ditemui. Program dan kegiatan fisik yang telah dilakukan adalah: (i) pendataan kerusakan
bangunan dan fasilitas publik; (ii) memperbaiki prasarana publik yang rusak; (iii)
pembersihan lingkungan; dan (iv) mengajukan usulan pembiayaan program
pembangunan fasilitas penanggulangan banjir. Sementara itu, belum semua pemerintah
daerah melakukan penegakan hukum terkait dengan penanggulangan banjir; jika ada
maka penegakan hukum tersebut masih terbatas pada penertiban penggunaan lahan
secara illegal.
Dalam hal ketersediaan landasan hukum, hampir semua pemerintah daerah
(perda) belum mempunyai peraturan daerah tentang penanggulangan banjir dan hanya
beberapa propinsi saja yang sedang mempersiapkannya. Sementara ini, pemerintah
daerah hanya memiliki perda yang mengatur pengelolaan sungai dan tata ruang.
Upaya pemerintah daerah dalam pengendalian banjir banyak menemui kendala,
antara lain: (i) kurangnya kepedulian masyarakat menjaga lingkungan; (ii) kurangnya
kesadaran masyarakat mematuhi peraturan yang berlaku dan menjaga kebersihan
lingkungan; (iii) kurangnya partisipasi masyarakat dan bahkan cenderung tergantung pada
bantuan pemerintah; (iv) peraturan daerah masih sangat terbatas; (v) lemahnya
8
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
penegakan hukum; (vi) kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah; dan (vii)
terbatasnya dana pemerintah.
Upaya penanggulangan banjir tidak dapat terlepas dari peran stakeholder dalam
setiap kegiatan. Dari hasil survei diketahui bahwa secara umum peran stakeholder
terutama penerima dampak bencana (beneficiaries) masih terbatas dan peran pemerintah
masih sangat dominan. Pada tahap pra bencana, partisipasi masyarakat berupa
keikutsertaannya pada kegiatan sosialisasi berbagai peraturan, membangun atau
membersihkan saluran drainase lingkungan secara swadaya, memprakarsai lomba
kebersihan, menjaga dan memantau kondisi lingkungan. Di samping itu aspirasi
masyarakat belum dikelola dalam bentuk kelompok/organisasi kemasyarakatan namun
hanya memanfaatkan kelembagaan RT/RW yang telah ada. Pada saat terjadi bencana,
terjadi kerjasama yang baik dalam pengevakuasian korban, pembagian makanan,
pakaian, dan penyediaan obat-obatan. Partisipasi masyarakat seperti ini muncul secara
spontan sebagai bentuk kepedulian sosial sesama masyarakat tanpa diupayakan oleh
pemerintah. Dengan belum tersedianya peraturan perundangan yang mengatur
penanngulangan banjir, maka pengaturan partisipasi masyarakat juga belum diatur.
Pada semua daerah survei, pendanaan program penanggulangan banjir sebagian
besar masih sangat tergantung pada pemerintah. Optimalisasi sumber pendanaan dari
masyarakat meskipun potensinya cukup besar masih belum dikelola secara baik dan
hanya mencakup pembiayaan bantuan spontan yang bersifat charity dan perbaikan kecil
prasarana lingkungan secara swadaya. Di sisi lain, swasta juga telah mulai ikut
berpartisipasi dalam menjaga kebersihan sungai melalui penyediaan dana pengelolaan
namun masih belum diimplementasikan di semua kota lokasi survei.
VII. ANALISIS DATA
Secara umum penyebab utama banjir adalah perubahan dan eskalasi perilaku
manusia dalam mengubah fungsi lingkungan. Di kawasan budidaya telah terjadi
perubahan tata ruang secara massive sehingga daya dukung lingkungan menurut drastis.
Pesatnya pertumbuhan permukiman dan industri telah mengubah keseimbangan fungsi
lingkungan, bahkan kawasan retensi banjir (retarding basin) yang telah disediakan oleh
alam berupa situ-situ telah juga dihabiskan. Keadaan ini secara signifikan telah
menurunkan secara drastis kapasitas penyerapan air oleh tanah dan kemudian diperparah
dengan penyediaan sistem drainase permukiman yang kurang memadai sehingga pada
curah hujan tertentu sudah menimbulkan genangan air di mana-mana. Selain itu,
penegakan hukum yang lemah telah ikut mendorong tumbuh-kembangnya permukiman
ilegal di bantaran sungai bahkan masuk ke badan sungai. Keadaan ini makin
memperburuk sistem tata air lingkungan karena kapasitas tampung dan pengaliran sungai
menjadi menurun sehingga terjadi luapan air. Penambangan pasir illegal terutama pada
areal-areal sekitar bangunan pengendali banjir yang umumnya mudah diakses juga ikut
memperparah keadaan karena kemampuan bangunan pengendali banjir menjadi
menurun.
Di sisi lain, ternyata pada wilayah-wilayah kajian secara umum belum ada
implementasi kebijakan yang efektif untuk mengendalikan penggundulan hutan dan
perubahan fungsi ruang pada daerah hulu. Aktivitas dan perubahan ini telah makin
meningkatkan debit air yang masuk langsung dan secara cepat ke badan sungai dan pada
akhirnya karena kapasitas tampung dan pengaliran sungai telah menurun maka kejadian
berikutnya adalah meluapnya air sungai ke kawasan-kawasan permukiman, persawahan,
dan pertambakan serta kawasan industri.
Meskipun demikian, secara umum hasil survei menunjukkan bahwa tidak ada
landasan hukum spesifik yang mengatur tentang penanggulangan banjir, apalagi
pengaturan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir. Namun ada temuan
9
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
yang menggembirakan yaitu partisipasi masyarakat sangat kentara dan dominan terutama
pada kegiatan tanggap darurat bahkan bersama-sama dengan kelompok stakeholder dari
unsur intermediaries mereka dapat membentuk “gugus tugas reaksi cepat” yang secara
mandiri dan tanpa intervensi pemerintah mereka mampu memberikan bantuan darurat
bagi para korban banjir. Temuan lapangan menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat
tersebut lebih didorong oleh semangat kesetiakawanan dalam bermasyarakat dan bukan
merupakan resultant dari upaya pemerintah untuk menggalangnya.
Mencermati partisipasi masyarakat pada tahapan siklus banjir ternyata tidak dapat
secara umum disamaratakan. Pada suatu tahapan tertentu partisipasinya sangat besar
dan begitu dominan sementara pada tahapan lainnya sulit ditemukan dan bahkan tidak
ada. Untuk itulah maka dianalisis lebih jauh untuk menemukenali jenis dan tingkat
partisipasi masyarakat pada kelompok-kelompok kegiatan penanggulangan banjir.
Analisis stakeholder memberi gambaran bahwa tidak semua unsur stakeholder
(beneficiaries, intermediaris, dan decision/policy maker) mempunyai peran dan pengaruh
yang sama pada masing-masing tahapan kegiatan penanggulangan banjir. Demikian juga
masing-masing karakteristik/jenis kegiatan penanggulangan banjir memerlukan jenis dan
tingkat partisipasi yang berbeda pula.
Mengikuti pengelompokkan jenis kegiatan yang diperkenalkan oleh Bank Dunia7,
maka dalam penanggulangan banjir ditemukan 3 (tiga) jenis kebijakan/kegiatan yaitu (i)
Indirect benefits, direct social cost; (ii) Large number of beneficiaries and few social cost;
dan (iii) Targeted assistance.
Kegiatan yang dicirikan dengan indirect benefits, direct social cost dikenali pada
kelompok kegiatan struktural di luar badan air (off-stream structural measures) yang
meliputi kegiatan-kegiatan peningkatan dan pembangunan sistem drainase,
pembangunan parasarana retensi air (retention facilities), pembangunan sistem serapan
air, pembangunan sistem polder, dan penanganan masalah erosi dan kemiringan tebing.
Kegiatan yang dicirikan dengan large number of beneficiaries and few social cost terdapat
pada kelompok kegiatan non-struktural jangka panjang (long term flood prevention
non-structural measures) yang mencakup kegiatan-kegiatan pengaturan dataran banjir
(floodplain), pengendalian penggunaan lahan di luar dataran banjir, kebijakan penyediaan
ruang terbuka (open space reservastion), kebijakan sarana dan pelayanan umum,
pedoman pengelolaan air permukaan, serta pendidikan dan informasi kepada masyarakat.
Kegiatan yang dicirikan dengan targeted assistance ditemukan pada kelompok kegiatan
manajemen darurat banjir jangka pendek (short term flood emergency management)
khususnya pada kegiatan-kegiatan pre-flood preparation yang terdiri dari kegiatankegiatan
pemetaan wilayah terkena banjir, penyimpanan bahan banjiran antara lain
karung pasir dan bronjong kawat, identifikasi lokasi dan pengaturan pemanfaatan
peralatan yang diperlukan, pemeriksaan dan peerawatan peralatan dan bangunan
pengendali banjir, dan penentuan dan pengaturan lokasi dan barak-barak pengungsian.
7.1. Kelompok Kegiatan Struktural di Luar Badan Air (off-stream structural
measures)
Pada kelompok kegiatan ini, pada tahap penyusunan konsep sudah tersedia
kebijakan nasional dan kebijakan daerah yang bersifat umum yang dapat dijadikan acuan
penyusunan konsep pembangunan fisik di luar badan air, baik berupa undang-undang,
peraturan pemerintah, maupun peraturan daerah. Pada implementasinya di lapangan,
teridentifikasi cukup banyak kegiatan-kegiatan yang meliputi kerjasama antara
pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengidentifikasikan masalah drainase hingga
penyusunan konsep partisipasi masyarakat dalam skema pembiayaan pemeliharaan
saluran drainase.
7 Lihat Rietbergen-McCracken, Jennifer dan Deepa Narayan (1998) halaman 25.
10
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
Pada tahap pembangunan/konstruksi, tidak teridentifikasi kebijakan/perundangan
yang berlaku spesifik, walaupun pada dasarnya masih dapat digunakan kebijakan umum
yang sudah ada. Dalam implementasinya, tidak teridentifikasi partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaan konstruksi dan umumnya dilaksanakan oleh penyedia jasa
konstruksi.
Meskipun dalam kebijakan/peraturan perundangan tidak ditemukan dasar yang
jelas, namun partisipasi masyarakat ditemukan dalam pembiayaan tahapan
operasionalisasi prasarana. Pada tahap monitoring dan evaluasi hanya teridentifikasi
peran pemerintah daerah dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap prasarana
off-stream structural measure, sedangkan partisipasi masyarakat secara langsung tidak
ditemukan.
Temuan-temuan tersebut menegaskan bahwa masih lemahnya dukungan aspek
legal untuk mengakomodasi dan merekognisi peranserta masyarakat dalam kelompok
kegiatan off-stream structural measure yang bercirikan indirect benefits, direct social cost.
Dengan ciri kegiatan yang biaya sosialnya dapat dirasakan langsung seperti
tersebut, seharusnya diperlukan upaya untuk mengakomodasi dan merekognisi
kepentingan pihak-pihak yang mungkin dirugikan (yang terkena adverse impact),
misalnya masyarakat yang terkena penggusuran karena dibangunnya inftastruktur
pengendali banjir. Pengaturan ini sangat penting untuk meminimalisasi dampak negatif
(adverse impact) yang dapat mempengaruhi kelancaran proses penanggulangan banjir.
Selain itu, prosedur keterlibatan masyarakat harus lebih spesifik dikembangkan. Isu
penting dalam hal ini adalah skema pembiayaan maupun sistem ganti rugi melalui subsidi
yang harus diatur secara jelas dan adil.
Tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini dalam kondisi ideal adalah
collaboration (skala ke 4 dari skala 0-6) terutama untuk tahapan konsep dan
implementasi, sedangkan untuk tahapan kontruksi mencapai skala ke 3 dari skala 0-6
atau pada tataran concensus building and agreement.
7.2. Kelompok Kegiatan Non-Struktural Jangka Panjang (long term flood
prevention non-structural measures)
Pada kelompok kegiatan ini, pada tahap penyusunan konsep cukup banyak
kebijakan nasional yang dapat diidentifikasi yang umumnya hanya menekankan pada
floodplain regulation, terutama pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW), aturan pengelolaan dan pemanfaatan sungai, dan peraturan
daerah (perda) yang berkaitan dengan tata ruang dan pemanfaatan sumberdaya air.
Pada tahap pengembangan konsep, belum banyak kegiatan yang dilakukan yang
berkaitan dengan floodplain regulation karena umumnya masih berupa konsep yang
tertuang dalam bentuk master plan pengelolaan sumberdaya air yang belum mampu
dilaksanakan karena keterbatasan dana dan sumberdaya manusia.
Kegiatan konsultasi publik dan penyuluhan ditemukan pada tahapan implementasi
merupakan bentuk dari public information and education yang merupakan tahap lanjutan
dari implementasi floodplain regulation.
Monitoring dan evaluasi terhadap floodplain regulation hanya dilakukan oleh
pengelola sungai dan pemda yang melakukan penindakan dengan menggusur pemukim
ilegal pada bantaran dan badan sungai. Meskipun penduduk daerah rawan banjir,
pemuka masyarakat dan agama, profesional/ahli, LSM, dan media massa dapat
melakukan monitoring dan evaluasi, namun belum ada regulasi yang secara tegas
mengatur hal ini.
Dengan ciri kegiatan yang jumlah beneficiaries-nya banyak dengan kepentingan
yang berbeda-beda serta dengan biaya sosial yang rendah tersebut, maka dalam
penyusunan regulasi pemerintah yang menjadi fasilitator harus mampu menjembatani
berbagai kepentingan tersebut dengan secermat mungkin mengidentifikasi stakeholder
utama dan menyusun skema birokrasi yang sesuai dan efektif serta perencanaan
pelaksanaan yang terintegrasi dan terkoordinasi.
11
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
Tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini dalam kondisi ideal adalah
empowerment-risk sharing (skala ke 5 dari skala 0-6) untuk tahapan pengembangan dan
tahapan evaluasi, pada skala ke 4 dari skala 0-6 atau pada tataran collaboration untuk
tahapan konsep, dan pada tahapan implementasi mencapai skala ke 1 dari skala 0-6 atau
pada tataran information-sharing. Dengan demikian maka untuk dapat menerapkan
floodplain regulation secara utuh, pihak pemerintah harus berperan lebih banyak sebab
tidak ada stakeholder lain yang mempunyai kekuatan hukum untuk menindak
pelanggaran suatu regulasi.
7.3. Kelompok Kegiatan Manajemen Darurat Banjir Jangka Pendek (short term
flood emergency management)
Pada kelompok kegiatan penanganan darurat banjir terutama pada kegiatan
persiapan menghadapi banjir (pre-flood prevention), pada tahap penyusunan konsep
terdapat cukup banyak aspek legal yang bisa dijadikan acuan, namun belum banyak yang
secara spesifik mengakomodasi partisipasi masyarakat.
Seperti pada tahap penyusunan konsep, dalam tahap pengembangan juga sudah
terdapat peraturan daerah yang mengatur pengembangan peta daerah rawan banjir dan
penetapan daerah alternatif pengungsian korban bencana dan pengadaan sarana
perhubungan di daerah yang terkena bencana. Namun demikian pada tahapan ini, di
lapangan tidak teridentifikasi partisipasi masyarakat dan segala persiapan untuk
menghadapi banjir dilakukan oleh instansi pemerintah.
Pada tahap implementasi persiapan menghadapi banjir, partisipasi masyarakat
tidak teridentifikasi secara spesifik sedangkan instansi pemerintah atau institusi pengelola
sungai melakukan hampir semua kegiatan.8 Pada tahap terakhir dalam kelompok
kegiatan ini, tidak teridentifikasi kegiatan monitoring dan evaluasi persiapan menghadapi
banjir yang melibatkan masyarakat secara langsung.
Dengan ciri kegiatan yang beneficiaries-nya sudah teridentifikasi secara jelas,
tersebut, maka masyarakat yang secara langsung terkena bencana banjir harus
mendapatkan perhatian utama. Dalam hal ini pemerintah harus memfasilitasi sehingga
kelompok masyarakat ini mempunyai akses terhadap kegiatan-kegiatan yang
memungkinkan mereka menghindari bencana atau paling tidak mengurangi kerugian
(materi) akibat bencana banjir tersebut. Di samping itu perlunya disusun suatu kebijakan
yang memprioritaskan peningkatan kapasitas sumber daya manusia kelompok
masyarakat tersebut sehingga dalam perencanaan kegiatan penanggulangan bencana
banjir, kelompok ini dapat menyumbangkan pemikiran mereka secara lebih.
Dari hasil analisis, tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini dalam
kondisi ideal adalah collaboration (skala ke 4 dari skala 0-6) untuk tahapan konsep sampai
dengan implementasi, sedangkan untuk tahapan evaluasi pada skala ke 6 pada skala 0-6
atau pada tataran empowerment and partnership.
VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap data yang telah dikumpulkan dan
diolah dengan menggunakan kerangka teori sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka
dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
8 Sebagai gambaran umum bahwa semua kegiatan telah dilaksanakan sendiri oleh unsur pemerintah dapat
dicermati contoh antara lain: (i) Perum Jasa Tirta menginventarisasi dan membuat peta daerah rawan banjir
di DPS Kali Brantas; dan (ii) Tim Satgas Banjir di wilayah Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai
(PI-PWS) Jeneberang melakukan persiapan/pengadaan dan penyimpanan bahan banjiran (bronjong kawat,
batu, karung plastik, pasir, dolken, dll) dan peralatan yang akan dipergunakan dalam upaya menanggulangi
bencana banjir.
12
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
1. Partisipasi masyarakat sebagai salah satu stakeholder masih sangat kurang.
Peran pemerintah masih sangat dominan pada setiap tahapan bencana.
Partisipasi masyarakat yang merupakan critical player pada tahapan sebelum
bencana memiliki pengaruh yang sangat kecil dalam proses dan implementasi
kebijakan. Tingkat partisipasi terbaik yang terjadi baru pada tingkat consultation.
Bahkan pada beberapa kegiatan masih pada tingkat information di mana
masyarakat masih sebagai obyek suatu program/kegiatan pemerintah. Partisipasi
telah dimulai pada tingkat partnership pada lingkup lingkungan setempat yang
dilaksanakan secara spontan. Ketika kegiatan tanggap darurat ketika terjadi
bencana, partisipasi masyarakat seimbang dengan stakeholder lainnya. Tingkat
partisipasi yang dicapai adalah partnership baik secara individu maupun dalam
suatu kelompok organisasi sosial. Pada tahapan rehabilitasi setelah terjadinya
bencana, pemerintah kembali dominan terutama dalam kegiatan fisik. Partisipasi
masyarakat hanya sebatas consultation. Tingkat partisipasi risk sharing dan
partnership dilakukan lingkup lingkungan setempat.
2. Kebijakan pemerintah daerah tentang penanggulangan bencana masih sangat
terbatas. Peraturan daerah yang sudah tersedia terbatas pada kegiatan
prevention. Sedangkan kebijakan pada saat bencana menggunakan pedomanpedoman
yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, dan belum dalam bentuk
peraturan daerah. Demikian halnya pada tahapan rehabilitasi pasca bencana.
3. Peraturan perundangan terutama di daerah masih terbatas. Dengan demikian
penegakan hukum juga belum banyak dilakukan. Penegakan hukum hanya
dilakukan pada penggunaan lahan secara ilegal dan pelanggaran garis sempadan
sungai.
4. Pendanaan untuk penanggulangan bencana masih sangat tergantung dari APBN
dan APBD Propinsi maupun Kabupaten/Kota terutama pada tahap prevention dan
rehabilitation. Sumber pendanaan dari masyarakat sebagai langkah spontanitas
kemanusiaan sudah berkembang untuk tahap tanggap darurat (intervention).
Prakarsa swasta dalam pembiayaan program penanggulangan banjir (pada
tahapan prevention) sudah dimulai di beberapa daerah.
IX. REKOMENDASI
Dalam menyusun rekomendasi kebijakan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
penanggulangan banjir, perlu ditetapkan secara lebih cermat tingkat partisipasi pada
setiap tahapan kegiatan sesuai dengan jenis kegiatan penanggulangan banjir. Untuk
merumuskan strategi partisipasi juga diperlukan pengelompokan kegiatan
penanggulangan banjir atas dasar: (i) besarnya dampak langsung maupun tidak langsung
yang akan diterima oleh masyarakat; (ii) jumlah dan keragaman penerima dampak
kegiatan; (iii) intensitas biaya sosial dari suatu kegiatan yang akan diterima oleh
masyarakat.
Perumusan partisipasi masyarakat tidak dapat dilakukan tanpa mencermati posisi
dan urgensi stakeholder lainnya seperti intermediaries dan decision/policy maker. Dari
sudut pandang tingkat partisipasi stakeholder, ada batasan bahwasanya tidak semua
kegiatan penanggulangan banjir dapat dilakukan oleh seluruh stakeholder hingga ke
tingkat empowerment. Semakin banyak pihak yang terlibat maka akan terlalu banyak
kepentingan yang harus diakomodasi dan terlalu banyak jalur birokrasi antarsektor
sehingga proses koordinasi lintas sektor dan pelaksanaan kegiatan (development) sangat
mungkin menjadi terhambat atau bahkan batal. Untuk itu maka tingkat ketertarikan
(interest), pengaruh (influence), dan kepentingan (importance) dari setiap stakeholder
harus diidentifikasi terlebih dahulu agar bisa ditentukan sejauh mana stakeholder tersebut
dilibatkan.
13
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
Penanganan untuk kelompok kegiatan struktural di luar badan air (off-stream
structural measures) yang dicirikan dengan indirect benefits, direct social cost dapat
dilakukan dengan kerangka sebagaimana pada Gambar 2.
Penanganan untuk kelompok kegiatan non-struktural jangka panjang (long
term flood prevention non-structural measures) yang dicirikan dengan large number of
beneficiaries and few social cost dapat dilakukan dengan kerangka sebagaimana pada
Gambar 3.
Penanganan untuk kelompok kegiatan manajemen darurat banjir jangka
pendek (short term flood emergency management) yang dicirikan dengan targeted
assistance dapat dilakukan dengan kerangka sebagaimana pada Gambar 4.
14
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
Gambar 2. Bagan Kerangka Penanganan Kegiatan Struktural di Luar Badan Air
(Off-stream Structural Measures)
Gambar 3. Bagan Kerangka Penanganan Kegiatan Non-Struktural Jangka
Panjang (Long Term Flood Prevention Non-Structural Measures)
Masyarakat Hulu
Alternatif
Teknologi
Desain
Elemen
- UU, PP, Perda
- RUTR/RTRW
- Master plan dan Pedoman
Pemanfaatan Air Permukaan
- Alternatif Watershead
Management Approach
- Alternatif Skema Pembiayaan
Professional, Makro & Mikro
Ahli, Akademisi
Advisory Group
(Masyarakat Hulu, Penggarap
Lahan, Lingkungan Situ, Petugas
Saluran Drainase/lokasi bangunan,
Penduduk daerah rawan banjir
Sosialisasi
Pilihan
Penerbitan peraturan
perundangan
Konstruksi oleh
Pemda
Konstruksi oleh
Masyarakat
Pengawasan
Inspektorat
Konsultasi Pembiayaan
Bimbingan Teknis Pemerintah
Operasi dan
Pemeliharaan
Monitoring dan
Evaluasi
Inspeksi Teknis oleh pihak internal dan eksternal
Bimbingan Skema Biaya OP
Inventarisasi
Kepemilikan dan
Pemanfaatan
􀂾 RUTR
􀂾 RTRW
Masukan dari
masyarakat
daerah
Menyusun
konsep TOR
Rancangan
Floodplain
Pengembangan
Rancangan FPR
DM AG
TT
Pengesahan
FPR
Rancangan
Action Plan
Action :
• Control of land use
outside flood-prone
areas
• Reservation of land for
recreation and other
compatible open space
Action :
• Surface water
management manual
• Public information and
education
Diseminasi Action Monitoring Evaluasi
Konsep FPR
hasil revisi
diskusi
Keterangan :
• DM = Decission Maker
• AG = Advissory Group
• TT = Technical Team
• FPR = Floodplain Regulation
15
Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir: Partisipasi Masyarakat
Gambar 4. Bagan Kerangka Penanganan Kegiatan Manajemen Darurat Banjir
Jangka Pendek (Short term Flood Emergency Management)











Manajemen risiko untuk penanggulangan banjir

Jakarta terendam lagi. Tiap tahun, Ibu Kota selalu digenangi banjir. Bencana adalah sebuah risiko dan setiap risiko selalu ada ongkosnya (cost of risk). Ongkos itu bisa berupa korban jiwa atau kerugian harta benda. Belum lagi tambahan penderitaan bagi yang masih hidup.

Kerugian ekonomi akibat banjir di Jabodetabek bisa dikuantifikasi secara matematis. Tetapi, siapa yang mampu menghitung kerugian ekonomi dari tewasnya puluhan nyawa akibat banjir? Belum lagi jiwa-jiwa yang menderita di pengungsian. Inilah yang membuat dampak dari risiko itu bisa tak ternilai besarnya.

Bencana adalah ketidakpastian. Artinya, bencana bisa terjadi dan bisa juga tidak terjadi. Jika terjadi, tingkat keparahan juga tidak pasti. Bencana bisa berdampak sepele, tapi bisa menjelma dengan kehadirannya yang mengerikan dan mampu menelan ratusan ribu jiwa.

Pada dasarnya, penyebab bencana dibagi dua yaitu akibat alam (natural disaster) atau akibat ulah manusia (man made disaster). Tsunami, gempa bumi, dan gunung meletus adalah jenis bencana akibat alam. Tapi benarkah banjir, tanah longsor, atau kecelakaan pesawat adalah akibat alam? Jangan-jangan itu adalah keteledoran atau akibat kesengajaan manusia.

Banjir sering terjadi akibat pembalakan liar atau karena pada wilayah resapan air didirikan bangunan untuk lahan bisnis. Kecelakaan kapal juga sering terjadi bukan akibat cuaca buruk, tetapi karena kelebihan muatan atau ketidakpatuhan terhadap regulasi.

Kita memang tidak bisa berbuat banyak terhadap bencana akibat alam, tetapi menjadi sangat bodoh jika terjadi bencana akibat kesalahan manusia. Untuk itulah, peran manusia dalam mencegah dan mengatasi bencana sangat besar.

Mereduksi dampak

Bencana tidak berarti tidak bisa diatasi oleh manusia, bahkan bencana alam sekalipun. Bencana sebagai sebuah risiko, bisa dikontrol. Sebisa mungkin menghilangkan dampak bencana, namun jika tidak mampu, yang bisa dilakukan adalah mengontrol dengan cara mereduksi melalui aktivitas preventif (pre lost) dan penanggulangan (post lost).

Aktivitas penanggulangan bencana (setelah terjadi bencana) sudah sering dilakukan. Kita bisa lihat misalnya, penyelamatan korban banjir yang terjebak di rumah. Ini dilakukan untuk meminimalkan korban.

Tindakan pencegahan sejatinya jauh lebih ampuh untuk mereduksi dampak bencana, bahkan mungkin bisa mencegah terjadinya bencana. Anehnya, tindakan preventif justru sering diabaikan. Proyek Banjir Kanal Timur di Jakarta yang diharapkan mampu mereduksi dampak banjir, misalnya, justru tersendat dan kalah cepat dibandingkan proyek busway.

Setelah Jakarta terendam, pemerintah berencana menata kembali kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) agar mampu menyerap air. Padahal, rencana ini sudah didengungkan beberapa tahun lalu, tepat saat Jakarta terendam.

Seringkali pertimbangan bisnis menina-bobokan dan mengalahkan segalanya, bahkan jiwa manusia sekalipun. Ketidakmampuan pemerintah mengatasi bencana lebih banyak karena ketidakmauan melaksanakan komitmen yang biasanya muncul pascabencana.

Bangsa yang dalam studi Walhi, 83% kawasannya adalah rawan bencana, ternyata belum punya perangkat kuat untuk menanggulangi bencana. Ini sebuah ironi. Rancangan Undang-undang Penanggulangan Bencana (RUUPB) hingga kini masih stagnan. Meskipun masih ada beberapa kekurangan, tetapi pemerintah dan DPR harus segera mengesahkan RUU ini.

Badan Penanggulangan Bencana (BPB) yang akan dibentuk melalui RUUPB juga sebenarnya tidak cukup wewenangnya. BPB juga terlihat sangat terkesan sebagai lembaga 'pemadam kebakaran'. Padahal, dibutuhkan lembaga yang menangani risiko bencana, yang memandang bencana sebagai sebuah risiko yang harus ditangani secara sistematis dan komprehensif.

Saat ini di beberapa perusahaan terdapat chief risk officer yang bertanggung jawab pada penanganan semua risiko yang dihadapi perusahaan. Konsep sejenis bisa diaplikasikan untuk konteks yang lebih besar yakni dengan membentuk country risk officer (CRO).

Konsep CRO sebenarnya tidak hanya didesain untuk bencana, tetapi untuk risiko seperti risiko ekonomi, politik, kesehatan, dan lainnya. Institusi tersebut akan melakukan pengkajian risiko (risk assessment) apa saja yang dihadapi bangsa ini. Dalam konteks bencana, maka difokuskan pada bencana apa saja yang bakal terjadi.

BPB sebaiknya dibentuk menyerupai CRO, yakni bekerja lintas sektoral yang melakukan penanganan bencana dalam paradigma manajemen risiko. Tugasnya fokus pada strategi menanggulangi risiko sehingga tidak sekadar pada tataran praksis menanggulangi bencana.

Kajian risiko

Kajian terhadap bencana tidak hanya dibatasi pada bencana alam. Bencana akibat ulah manusia bisa timbul dari individu, kelompok, atau kebijakan pemerintah yang salah. Saat membuat kebijakan apapun, pemerintah harus selalu ada kajian terhadap risiko yang bakal timbul sebagai dampak dari kebijakan tersebut.

Cara bepikir bahwa setiap kebijakan pasti ada risikonya, harus menjadi paradigma pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Dengan demikian, sebelum membuat peraturan apapun, harus selalu berpikir tentang risiko atau dampaknya. Sekali lagi, dampak risiko, seperti diuraikan di atas, bisa tak terhingga besarnya.

Kita bisa hitung, berapa keuntungan pemanfaatan daerah Bopunjur dan Jakarta untuk komersial dibandingkan dengan kerugian Jabodetabek akibat banjir yang bisa triliunan rupiah selama bertahun-tahun, serta menelan nyawa manusia yang tak berdosa.

Setelah proses pengkajian risiko adalah melakukan analisis dan kontrol risiko. Mencegah risiko, mereduksi risiko, menahan risiko, atau memindahkan risiko adalah bentuk dari kontrol risiko. Berkenaan bencana di Indonesia, tindakan mencegah dan mereduksi risiko menjadi prioritas.

Mereduksi risiko dapat berupa mengurangi kemungkinan terjadinya risiko bencana (likelihood) atau mengurangi dampaknya (severity). Selain itu juga perlu dipersiapkan rencana darurat (contingency planning) dalam rangka menghadapi segala kemungkinan.

Paradigma manajemen risiko ini harus dikomunikasikan hingga pejabat di tingkat bawah sehingga mereka benar-benar peduli terhadap risiko bencana. Dengan demikian, aktivitas preventif dan kesiapan mengatasi bencana dapat dipersiapkan secara maksimal. Jika tidak, maka kita mungkin dengan pilu masih menyaksikan bencana menerpa dengan penanganan yang amburadul.
 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies