WEB BLOG
this site the web

I made this widget at MyFlashFetish.com.

manajement resiko penanggulangan banjir

Manajemen risiko untuk penanggulangan banjir

Jakarta terendam lagi. Tiap tahun, Ibu Kota selalu digenangi banjir. Bencana adalah sebuah risiko dan setiap risiko selalu ada ongkosnya (cost of risk). Ongkos itu bisa berupa korban jiwa atau kerugian harta benda. Belum lagi tambahan penderitaan bagi yang masih hidup.

Kerugian ekonomi akibat banjir di Jabodetabek bisa dikuantifikasi secara matematis. Tetapi, siapa yang mampu menghitung kerugian ekonomi dari tewasnya puluhan nyawa akibat banjir? Belum lagi jiwa-jiwa yang menderita di pengungsian. Inilah yang membuat dampak dari risiko itu bisa tak ternilai besarnya.

Bencana adalah ketidakpastian. Artinya, bencana bisa terjadi dan bisa juga tidak terjadi. Jika terjadi, tingkat keparahan juga tidak pasti. Bencana bisa berdampak sepele, tapi bisa menjelma dengan kehadirannya yang mengerikan dan mampu menelan ratusan ribu jiwa.

Pada dasarnya, penyebab bencana dibagi dua yaitu akibat alam (natural disaster) atau akibat ulah manusia (man made disaster). Tsunami, gempa bumi, dan gunung meletus adalah jenis bencana akibat alam. Tapi benarkah banjir, tanah longsor, atau kecelakaan pesawat adalah akibat alam? Jangan-jangan itu adalah keteledoran atau akibat kesengajaan manusia.

Banjir sering terjadi akibat pembalakan liar atau karena pada wilayah resapan air didirikan bangunan untuk lahan bisnis. Kecelakaan kapal juga sering terjadi bukan akibat cuaca buruk, tetapi karena kelebihan muatan atau ketidakpatuhan terhadap regulasi.

Kita memang tidak bisa berbuat banyak terhadap bencana akibat alam, tetapi menjadi sangat bodoh jika terjadi bencana akibat kesalahan manusia. Untuk itulah, peran manusia dalam mencegah dan mengatasi bencana sangat besar.

Mereduksi dampak

Bencana tidak berarti tidak bisa diatasi oleh manusia, bahkan bencana alam sekalipun. Bencana sebagai sebuah risiko, bisa dikontrol. Sebisa mungkin menghilangkan dampak bencana, namun jika tidak mampu, yang bisa dilakukan adalah mengontrol dengan cara mereduksi melalui aktivitas preventif (pre lost) dan penanggulangan (post lost).

Aktivitas penanggulangan bencana (setelah terjadi bencana) sudah sering dilakukan. Kita bisa lihat misalnya, penyelamatan korban banjir yang terjebak di rumah. Ini dilakukan untuk meminimalkan korban.

Tindakan pencegahan sejatinya jauh lebih ampuh untuk mereduksi dampak bencana, bahkan mungkin bisa mencegah terjadinya bencana. Anehnya, tindakan preventif justru sering diabaikan. Proyek Banjir Kanal Timur di Jakarta yang diharapkan mampu mereduksi dampak banjir, misalnya, justru tersendat dan kalah cepat dibandingkan proyek busway.

Setelah Jakarta terendam, pemerintah berencana menata kembali kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) agar mampu menyerap air. Padahal, rencana ini sudah didengungkan beberapa tahun lalu, tepat saat Jakarta terendam.

Seringkali pertimbangan bisnis menina-bobokan dan mengalahkan segalanya, bahkan jiwa manusia sekalipun. Ketidakmampuan pemerintah mengatasi bencana lebih banyak karena ketidakmauan melaksanakan komitmen yang biasanya muncul pascabencana.

Bangsa yang dalam studi Walhi, 83% kawasannya adalah rawan bencana, ternyata belum punya perangkat kuat untuk menanggulangi bencana. Ini sebuah ironi. Rancangan Undang-undang Penanggulangan Bencana (RUUPB) hingga kini masih stagnan. Meskipun masih ada beberapa kekurangan, tetapi pemerintah dan DPR harus segera mengesahkan RUU ini.

Badan Penanggulangan Bencana (BPB) yang akan dibentuk melalui RUUPB juga sebenarnya tidak cukup wewenangnya. BPB juga terlihat sangat terkesan sebagai lembaga 'pemadam kebakaran'. Padahal, dibutuhkan lembaga yang menangani risiko bencana, yang memandang bencana sebagai sebuah risiko yang harus ditangani secara sistematis dan komprehensif.

Saat ini di beberapa perusahaan terdapat chief risk officer yang bertanggung jawab pada penanganan semua risiko yang dihadapi perusahaan. Konsep sejenis bisa diaplikasikan untuk konteks yang lebih besar yakni dengan membentuk country risk officer (CRO).

Konsep CRO sebenarnya tidak hanya didesain untuk bencana, tetapi untuk risiko seperti risiko ekonomi, politik, kesehatan, dan lainnya. Institusi tersebut akan melakukan pengkajian risiko (risk assessment) apa saja yang dihadapi bangsa ini. Dalam konteks bencana, maka difokuskan pada bencana apa saja yang bakal terjadi.

BPB sebaiknya dibentuk menyerupai CRO, yakni bekerja lintas sektoral yang melakukan penanganan bencana dalam paradigma manajemen risiko. Tugasnya fokus pada strategi menanggulangi risiko sehingga tidak sekadar pada tataran praksis menanggulangi bencana.

Kajian risiko

Kajian terhadap bencana tidak hanya dibatasi pada bencana alam. Bencana akibat ulah manusia bisa timbul dari individu, kelompok, atau kebijakan pemerintah yang salah. Saat membuat kebijakan apapun, pemerintah harus selalu ada kajian terhadap risiko yang bakal timbul sebagai dampak dari kebijakan tersebut.

Cara bepikir bahwa setiap kebijakan pasti ada risikonya, harus menjadi paradigma pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Dengan demikian, sebelum membuat peraturan apapun, harus selalu berpikir tentang risiko atau dampaknya. Sekali lagi, dampak risiko, seperti diuraikan di atas, bisa tak terhingga besarnya.

Kita bisa hitung, berapa keuntungan pemanfaatan daerah Bopunjur dan Jakarta untuk komersial dibandingkan dengan kerugian Jabodetabek akibat banjir yang bisa triliunan rupiah selama bertahun-tahun, serta menelan nyawa manusia yang tak berdosa.

Setelah proses pengkajian risiko adalah melakukan analisis dan kontrol risiko. Mencegah risiko, mereduksi risiko, menahan risiko, atau memindahkan risiko adalah bentuk dari kontrol risiko. Berkenaan bencana di Indonesia, tindakan mencegah dan mereduksi risiko menjadi prioritas.

Mereduksi risiko dapat berupa mengurangi kemungkinan terjadinya risiko bencana (likelihood) atau mengurangi dampaknya (severity). Selain itu juga perlu dipersiapkan rencana darurat (contingency planning) dalam rangka menghadapi segala kemungkinan.

Paradigma manajemen risiko ini harus dikomunikasikan hingga pejabat di tingkat bawah sehingga mereka benar-benar peduli terhadap risiko bencana. Dengan demikian, aktivitas preventif dan kesiapan mengatasi bencana dapat dipersiapkan secara maksimal. Jika tidak, maka kita mungkin dengan pilu masih menyaksikan bencana menerpa dengan penanganan yang amburadul.

0 komentar:

Posting Komentar

 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies